Banner Bawah

UNESCO Subak Jatiluwih: Dari Janji Pelestarian Jadi Ujian Kejujuran Bali di Mata Dunia

Admin 2 - atnews

2025-12-08
Bagikan :
Dokumentasi dari - UNESCO Subak Jatiluwih: Dari Janji Pelestarian Jadi Ujian Kejujuran Bali di Mata Dunia
Ilustrasi (ist/Atnews)

Oleh Prof. Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., M.MA., MA., CIRR, Guru Besar Bidang Manajemen Bisnis Pariwisata, dan Rektor Universitas Dhyana Pura, Badung, Bali.
 
Status Warisan Dunia UNESCO untuk Subak Jatiluwih memang sedang “merah”, tetapi persoalan utamanya bukan sekadar bangunan vila dan restoran, melainkan kegagalan tata kelola: kita berjanji menjaga keaslian lanskap budaya, lalu secara pelan tapi pasti membiarkan janji itu dilanggar oleh kebijakan, kelalaian, dan kompromi politik-ekonomi. Kasus ini bukan hanya soal Bali bisa “gagal mensejahterakan petani”, tetapi lebih dalam: Bali sedang mempertaruhkan kredibilitas moralnya di mata dunia mengaku hidup dari kearifan lokal, sambil menutup mata ketika kearifan itu dikapling dan dijual per kapling.​

Janji ke UNESCO: Ketika Subak Jatiluwih diajukan sebagai Warisan Dunia, komitmen yang disepakati sederhana tapi tegas: menjaga authenticity dan integrity lanskap budaya subak, termasuk fungsi lahan sawah dan jalur hijau, sekaligus memastikan manfaat pariwisata mengalir ke masyarakat lokal. Foto udara yang diambil awal 2000-an pada dasarnya adalah “akta komitmen visual”: inilah wajah Jatiluwih yang dijanjikan akan dijaga, bukan sekadar spot Instagram yang bisa di-reshape semaunya.​ Namun dua dekade kemudian peta izin, perda, dan SK berubah jauh lebih cepat dari aliran air subak, sementara sawah yang dulu hijau kini terpotong-potong oleh bangunan akomodasi, restoran, dan alih fungsi Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang dibiarkan atau bahkan difasilitasi lewat perizinan formal. Di atas kertas, semuanya tampak “legal”; di hadapan UNESCO, justru tampak sebagai pengingkaran terhadap janji awal tentang lanskap budaya yang harus dipertahankan keasliannya.​

Siapa Sebenarnya yang Salah? Pertanyaan “siapa salah?” sering dijawab secara praktis: pemilik vila, pemilik restoran, atau investor yang membangun di jalur hijau dan kawasan LSD. Padahal, fakta bahwa bisa muncul 13 bangunan akomodasi melanggar aturan di kawasan WBD Jatiluwih menunjukkan bahwa ini bukan sekadar ulah “oknum”, tapi cacat sistem pengawasan dan tata kelola.​ Dalam membaca dinamika di Subak Jatiluwih, sejumlah simpul persoalan tampak patut diduga berkontribusi pada situasi yang muncul, tanpa harus langsung memposisikan pihak tertentu sebagai pelaku pelanggaran yang sudah terbukti secara hukum. Bisa saja terdapat pola kebijakan di tingkat pemerintah daerah baik kabupaten maupun provinsi yang dalam praktiknya memberi izin atau membiarkan bangunan berdiri di ruang yang sejatinya masuk kawasan lindung, sehingga reaksi baru mengemuka secara serius ketika ancaman dari UNESCO mulai terdengar.
 
Di saat yang sama, keterlambatan respons dari unsur pelaksana teknis dan aparat penegak perda, seperti OPD terkait dan Satpol PP, dapat diduga membuat masalah menumpuk hingga akhirnya memerlukan intervensi politik melalui pembentukan Panitia Khusus di DPRD, yang menjadi indikasi bahwa fungsi pengawasan dan penindakan sebelumnya belum berjalan optimal. Di balik semua itu, patut pula diduga adanya kekosongan atau kelemahan regulasi yang memberi ruang cukup kuat bagi awig-awig subak dan pararem desa untuk “berbicara” dalam ranah hukum formal; aturan adat yang sejatinya kokoh secara sosial kerap menjadi tumpul ketika berhadapan dengan pemegang modal yang datang dengan dokumen izin resmi dari pemerintah, sehingga keseimbangan antara kearifan lokal dan kepentingan investasi menjadi timpang bukan semata-mata karena niat buruk individu, tetapi juga akibat desain kelembagaan dan hukum yang belum sepenuhnya berpihak pada pelestarian lanskap budaya. Dalam situasi seperti ini, menyalahkan petani atau pekaseh adalah ironi paling pahit: mereka justru yang bertahan menjaga sawah, sementara orang luar membawa izin dan modal lalu mengubah fungsi lahan legal di atas kertas, ilegal secara etika pelestarian.​

​Bali Bukan Satu-satunya: Kasus Jatiluwih tidak berdiri sendiri. Di banyak belahan dunia, UNESCO Site dijadikan alat branding, sementara komitmen pelestariannya dikorbankan demi proyek pembangunan. Di berbagai belahan dunia, sejumlah situs Warisan Dunia UNESCO menghadapi nasib yang berbeda tetapi menawarkan pelajaran yang saling berkaitan. Subak Jatiluwih di Indonesia, misalnya, kini berada dalam posisi terancam karena alih fungsi Lahan Sawah Dilindungi (LSD), munculnya bangunan akomodasi di dalam lanskap budaya, serta lemahnya penertiban yang secara langsung mengganggu integritas nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV) yang dulu dijanjikan. Ancaman pencabutan status dan sorotan keras terhadap integritas OUV menunjukkan bahwa tanpa kontrol ruang yang tegas dan konsisten, label “cultural landscape” mudah turun derajat menjadi sekadar formalitas di dokumen dan materi promosi.​

Pengalaman pahit sudah lebih dulu dialami Liverpool Maritime Mercantile City di Inggris, yang akhirnya dicabut dari Daftar Warisan Dunia akibat proyek waterfront modern berskala besar, termasuk pembangunan stadion dan pengembangan kawasan pelabuhan yang dinilai mengganggu keaslian lanskap historisnya. Kasus ini memperlihatkan bahwa ketika pembangunan mengabaikan integritas warisan demi kepentingan komersial jangka pendek, status UNESCO tidak dapat dipertahankan, dan branding “UNESCO World Heritage” justru berubah menjadi bumerang reputasi.​

Nasib serupa menimpa Dresden Elbe Valley di Jerman, yang kehilangan status Warisan Dunia setelah pemerintah setempat membangun sebuah jembatan besar melintasi lembah sungai Elbe. Infrastruktur tersebut dipandang memotong dan merusak keutuhan lanskap budaya yang menjadi dasar penetapannya sebagai Warisan Dunia, sehingga menegaskan pesan bahwa proyek fisik yang mengganggu kesatuan visual dan ekologis suatu situs dapat menghapus pengakuan internasional, sekalipun proyek itu diklaim untuk kepentingan publik.​

Di sisi lain, Ifugao Rice Terraces di Filipina memberikan contoh yang lebih optimistis: kawasan ini sempat dimasukkan dalam daftar “World Heritage in Danger” karena degradasi terasering, migrasi penduduk muda ke kota, dan menurunnya praktik pertanian tradisional yang menjadi roh lanskap tersebut. Namun, melalui upaya perbaikan yang berfokus pada penghidupan berkelanjutan, revitalisasi praktik bertani tradisional, dan pelibatan aktif komunitas lokal, statusnya kemudian dapat dipulihkan, menunjukkan bahwa ketika lanskap budaya dikelola dengan pendekatan yang berpihak pada masyarakat dan keberlanjutan, ancaman kerusakan dapat dibalik menjadi momentum pemulihan.​

Polanya sama: begitu kepentingan pembangunan jangka pendek mengalahkan integritas lanskap budaya, UNESCO tidak ragu memberi peringatan keras, bahkan mencabut status jika perbaikan tidak terjadi.​
Apakah Status UNESCO Harus Dicabut? Pertanyaan ini mengandung dua lapis: normatif dan strategis. Secara normatif, ketika komitmen dilanggar, ancaman pencabutan adalah konsekuensi logis: tidak pantas memakai label Warisan Dunia jika keaslian lanskap budaya tidak dihormati. Namun secara strategis, pencabutan status UNESCO untuk Jatiluwih akan menjadi pukulan telak, bukan hanya bagi citra Bali, tetapi juga bagi posisi Indonesia dalam diplomasi budaya global.​

Perlu ditegaskan bahwa UNESCO bukan lembaga yang gemar mencabut status Warisan Dunia; sepanjang sejarah, hanya sedikit situs yang benar-benar dihapus dari daftar, karena sebelum sampai ke titik itu UNESCO hampir selalu memberikan peringatan keras melalui penetapan status “World Heritage in Danger” sebagai kesempatan terakhir bagi negara untuk memperbaiki pengelolaan dan memulihkan integritas situsnya. Jika akhirnya pencabutan tetap terjadi, langkah tersebut dapat dibaca secara tajam sebagai bentuk “kejujuran terakhir”: pengakuan bahwa negara tuan rumah tidak lagi mampu atau tidak lagi bersedia memenuhi komitmen pelestarian yang sebelumnya ia tanda tangani, yang secara substantif sama artinya dengan menerima kekalahan terbuka di forum internasional dalam hal tata kelola warisan budaya dan alam.
Pertanyaannya, apakah Bali, dan Indonesia, mau tercatat dalam sejarah sebagai wilayah yang gagal menjaga salah satu lanskap pertanian tradisional paling indah di dunia, hanya karena tidak sanggup menertibkan 13 bangunan dan alih fungsi lahan yang dibiarkan bertahun-tahun?​

Solusi? Bukan Sekadar Bongkar Bangunan: Solusi untuk menyelamatkan Jatiluwih dan sekaligus memulihkan integritas komitmen ke UNESCO harus melampaui langkah kosmetik. Langkah penyelamatan Jatiluwih harus tegas dan terukur: bangunan yang nyata-nyata melanggar jalur hijau dan Lahan Sawah Dilindungi di dalam lanskap budaya wajib dibongkar atau dialihfungsikan dengan dasar hukum yang jelas, disertai audit menyeluruh atas setiap izin yang pernah dikeluarkan dan koreksi melalui mekanisme hukum bila izin tersebut bertentangan dengan status Warisan Dunia. Regulasi negara harus segera disinkronkan dengan awig-awig subak dan pararem desa melalui perda dan rencana tata ruang, sehingga aturan adat tidak lagi kalah di hadapan pemilik modal dan setiap izin yang melanggar prinsip pelestarian dapat otomatis gugur. 
Model bisnis pariwisata Jatiluwih juga perlu diredesain: status UNESCO tidak boleh berhenti sebagai magnet tiket masuk, tetapi menjadi dasar pengembangan pariwisata yang memihak petani, seperti ditunjukkan oleh praktik berbasis komunitas di lanskap terasering Ifugao yang menggabungkan produk lokal, budaya tani, dan homestay tanpa merusak lahan. Untuk menjamin keberlanjutan, petani, pekaseh, dan desa adat harus menjadi aktor utama dalam perencanaan dan pengawasan, didukung mekanisme pemantauan transparan berbasis komunitas dan teknologi agar pelanggaran baru dapat dideteksi sejak dini. Di atas semua itu, negara perlu berani mengakui masalah di hadapan UNESCO dan mengajukan rencana aksi korektif yang konkret; jauh lebih terhormat datang sebagai pihak yang jujur dan serius memperbaiki daripada diam sampai status dicabut secara memalukan tanpa upaya berarti.
Jika Status Akhirnya Dicabut: Bila pada akhirnya status Warisan Dunia UNESCO untuk Subak Jatiluwih benar-benar dicabut, Bali secara fisik tidak kehilangan sawah, aliran air, dan petani yang tetap menanam padi; namun secara simbolik, Bali kehilangan salah satu etalase moral terkuat tentang keseriusan menjaga lanskap budaya. Kehilangan itu akan mengirim tiga pesan pahit: kepada dunia, bahwa Bali dan Indonesia gagal menegakkan komitmen pelestarian lanskap budaya yang justru dipakai sebagai wajah promosi pariwisata; kepada masyarakat Bali, bahwa jargon “kearifan lokal”, “Tri Hita Karana”, dan “pariwisata berkelanjutan” hanya menjadi slogan kosong jika tidak diikuti keberanian politik dan sosial untuk menghentikan alih fungsi lahan yang merusak; dan kepada pemerintah, bahwa status UNESCO bukan sekadar bonus branding, melainkan kontrak moral sekaligus hukum sehingga bila tidak sanggup dihormati, sikap paling jujur seharusnya adalah mengembalikan label itu daripada terus menjualnya dalam brosur dan pidato.

Dari sudut pandang ini, solusi paling bertanggung jawab justru bukan menunggu atau diam-diam berharap UNESCO mencabut status, melainkan memaksa diri melakukan koreksi struktural sebelum dunia yang mencabut kepercayaan: menertibkan ruang, menguatkan regulasi, menata model bisnis pariwisata, dan mengembalikan posisi petani sebagai subjek utama lanskap budaya. Jatiluwih pada akhirnya adalah cermin: Bali bisa memilih menjadi contoh positif seperti Ifugao yang berhasil memulihkan lanskap teraseringnya, atau menjadi catatan kaki memalukan seperti Liverpool dan Dresden yang kehilangan pengakuan karena kompromi berlebihan dengan proyek pembangunan; pilihan itu tidak berada di tangan UNESCO, tetapi di Tabanan, di Denpasar, dan di meja setiap pejabat yang menandatangani izin di atas peta sawah petani (*)
Banner Bawah

Baca Artikel Menarik Lainnya : Perda RPJMD Semesta Berencana Jadi Pedoman Pembangunan Bali

Terpopuler

13 Bangunan Pariwisata di WBD Jatiluwih yang Diakui UNESCO, Satpol Pasangi PP Line Langgar Aturan Tata Ruang, LSD dan LP2B 

13 Bangunan Pariwisata di WBD Jatiluwih yang Diakui UNESCO, Satpol Pasangi PP Line Langgar Aturan Tata Ruang, LSD dan LP2B 

Komisi Informasi Bali: Proyek Gunakan Anggaran Negara Wajib Dipublikasikan

Komisi Informasi Bali: Proyek Gunakan Anggaran Negara Wajib Dipublikasikan

DPRD Badung Mengucapkan HUT Ke-16 Mangupura

DPRD Badung Mengucapkan HUT Ke-16 Mangupura

GPS: Investor Asing Abal-Abal & Modus Magnum, Bahaya PMA Fiktif di Bali

GPS: Investor Asing Abal-Abal & Modus Magnum, Bahaya PMA Fiktif di Bali

Usut Tuntas 'Proyek Siluman' di Mangrove Tahura Ngurah Rai Denpasar

Usut Tuntas 'Proyek Siluman' di Mangrove Tahura Ngurah Rai Denpasar

Nelayan Belum Kembali Dari Laut, Tim SAR Gabungan Lakukan Pencarian

Nelayan Belum Kembali Dari Laut, Tim SAR Gabungan Lakukan Pencarian