Tabanan (Atnews) - Drama penyegelan 13 bangunan milik petani di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih terus berlanjut.
Para petani mengaku telah mengajukan rekomendasi resmi kepada Pemerintah Pusat terkait permohonan kaji ulang atas kebijakan penertiban yang dilakukan pemerintah daerah.
Nengah Darmikayasa, petani asal Jatiluwih sekaligus pemilik Warung Sunari menyebut bahwa langkah tersebut ditempuh segera setelah menerima surat peringatan kedua dari Pemkab Tabanan.
"Pasca kami mendapat surat peringatan atau SP2 dari Pemkab Tabanan, kami langsung mengajukan rekomendasi ke Pemerintah Pusat yang ditujukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)," jelasnya Minggu, 7 Desember 2025
Menurutnya, pengajuan ditujukan kepada lembaga yang berwenang atas tata ruang dan pertanahan secara nasional, dan hingga kini pihaknya masih menanti keputusannya.
"Pengajuan rekomendasi kepada pemerintah pusat ini, kami tempuh karena kami sudah tidak memiliki pilihan lain lagi dalam menghadapi kebijakan pemerintah daerah," paparnya.
Ketua Komisi I DPRD Tabanan, I Gusti Nyoman Omardani, ketika dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya belum dapat bergerak lebih jauh sebelum keputusan pusat turun.
"Sampai saat ini kami belum bisa mengambil tindakan, karena rekomendasi dari pemerintah pusat belum turun, sehingga kami belum berani mengambil tindakan terkait hal tersebut," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Tabanan, I Nyoman Arnawa, menegaskan perlunya pemberian kompensasi kepada para petani agar tetap memperoleh manfaat ekonomis dari lahan produktif yang tidak boleh dialihfungsikan.
"Setidaknya ada pembebasan pajak lahan basah produktif. Dari dulu saya sudah sampaikan seperti itu lahan produktif milik petani ini dibebaskan dari pajak 100 persen, sehingga tidak memberatkan para petani," tegas Arnawa.
Diketahui, penyegelan 13 bangunan milik petani pada 2 Desember 2025 oleh Pansus TRAP DPRD Bali menimbulkan reaksi lanjutan. Para petani memasang seng dan plastik hitam di sejumlah titik DTW Jatiluwih dengan tujuan menciptakan ketidaknyamanan bagi wisatawan sebagai bentuk protes. (WIG/001)